Psikolog: Sistem ranking tak terlalu diperlukan untuk penilaian siswa
Jumat,hk siang tercepat martabetoto 8 November 2024 21:29 WIB
Yang penting, anak yang ada di situ -di kelas- paham atau tidak materi pelajaran yang kemudian pada akhirnya dia bisa dikatakan kompeten pada usianya di kelasnya
Jakarta (ANTARA) - Psikolog pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Prof Dr Rose Mini Agoes Salim M Psi memandang bahwa sistem ranking yang diberlakukan di sekolah sebetulnya tidak terlalu diperlukan untuk dijadikan sebagai indikator di dalam penilaian hasil belajar siswa.
Psikolog yang akrab disapa Bunda Romi itu saat dihubungi ANTARA di Jakarta Jumat mengatakan, tujuan pendidikan yaitu untuk membuat anak memiliki pemahaman dan kompetensi tertentu.
Oleh sebab itu, yang lebih penting, pihak sekolah perlu memastikan agar anak-anak mempunyai kompetensi yang harus dicapai pada setiap tingkatan kelasnya.
“Saya melihat ranking itu sebetulnya tidak terlalu diperlukan. Yang penting, anak yang ada di situ -di kelas- paham atau tidak materi pelajaran yang kemudian pada akhirnya dia bisa dikatakan kompeten pada usianya di kelasnya. Lebih penting itu kalau menurut saya,” katanya.
Pada anak yang tidak mencapai ranking teratas, Romi mengatakan bahwa anak tersebut berpotensi merasa kehilangan kepercayaan diri. Padahal, bisa saja anak tersebut mendapatkan nilai yang kurang bagus karena sedang sakit saat mengikuti ujian.
Ia mengingatkan, penilaian pada siswa bukan ditentukan dari hasil ujian akhir saja. Proses pembelajaran siswa yang menyeluruh juga penting untuk dinilai. Dalam hal ini, guru perlu melihat progres hasil pembelajaran serta memastikan apakah siswa mengalami peningkatan kemampuan yang baik atau kah sebaliknya.
“Dan yang dikejar adalah bukan hanya dia harus bisa naik kelas, tapi dia bisa memiliki kemampuan atau tidak untuk menyelesaikan tugas-tugas pada kelasnya. Apakah dia memiliki kompetensi atau tidak di dalam kelasnya, itu yang penting dikejar kalau menurut saya,” katanya.
Senada dengan Romi, saat dihubungi secara terpisah, psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra S Psi M Si Ph D memandang bahwa sistem ranking tidak lagi relevan untuk diterapkan di sekolah-sekolah.
Ia mengingatkan, revolusi industri 5.0 yang berkembang saat ini justru membutuhkan manusia dengan kecerdasan original yang unik yang tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI). Kecerdasan ini tidak bisa didapatkan jika sistem pendidikan masih menerapkan ranking sebagai standar kecerdasan pada siswa.
Novi mengatakan, setiap anak pada dasarnya memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, sehingga perlu untuk melihat kemampuan mereka tidak hanya dari sisi akademis. Beberapa anak mungkin lebih dominan dalam hal terkait dengan kecerdasan kemanusiaan. Beberapa yang lain, mungkin lebih menonjol dalam kecerdasan seni dan beberapa lainnya mungkin menonjol dalam kecerdasan emosional.
Ia menggarisbawahi sistem pendidikan di Indonesia yang selama ini hanya mengedepankan metode menghafal (memorizing) di dalam pembelajaran dan melupakan pentingnya untuk membangun kemampuan berpikir kritis pada siswa. Padahal, kemampuan tersebut dibutuhkan di era saat ini.
Dari sisi psikologis, Novi mengingatkan potensi bahaya yang dapat muncul pada anak-anak baik yang tidak mendapatkan ranking teratas maupun yang selalu mendapatkan ranking teratas.
Sama seperti Romi, Novi mengatakan bahwa siswa yang memperoleh peringkat biasa-biasa saja bisa jadi tidak percaya diri karena merasa tidak menemukan dirinya ketika semua orang diukur dengan ranking. Sedangkan pada siswa yang selalu memperoleh ranking teratas, mereka dikhawatirkan akan memiliki (fixed mindset) sehingga merasa tidak perlu belajar hal lain dari anak-anak dengan ranking rendah.
“Makanya, jangan-jangan justru anak-anak yang rankingnya biasa-biasa saja, dia malah mempunyai growth mindset karena dia bisa belajar apa saja,” tutur Novi.
Anak-anak yang selalu mendapatkan ranking tertinggi juga dikhawatirkan tumbuh menjadi pribadi yang sangat ambisius dan takut menghadapi kegagalan. Anak-anak ini, ujar Novi, mendapatkan ekspektasi tinggi dari masyarakat sehingga takut gagal. Padahal, untuk belajar, anak harus mampu menghadapi kegagalan.
“Sistem pendidikan kita hanya memberikan ruang pada akademik, bukan pada kecerdasan-kecerdasan lain yang saya sebutkan tadi. Ini Menyebabkan anak yang tidak ranking ini kemudian tidak berhasil menemukan kecerdasan originalnya, kecerdasan keunikannya dia, potensi terbaiknya dia,” kata Novi.